Subscribe Us

IMPLEMENTASI ASESMEN RISIKO RESIDIVISME INDONESIA DAN KEBUTUHAN KRIMINOGENIK NARAPIDANA/KLIEN PEMASYARAKATAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN



Jawa Tengah - Pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.  Pemasyarakatan sendiri merupakan upaya yang dilakukan untuk dapat memberikan pembinaan terhadap setiap warga binaan pemasyarakatan yang telah mengalami keretakan pada hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupannya. Sehingga diharapkan setelah mendapatkan pembinaan, para warga binaan pemasyarakatan ini memiliki kesempatan untuk dapat berubah dan memperbaiki hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupannya. Munculnya gagasan perubahan mengenai lembaga penjara (dalam sejarah disebut sebagai rumah penjara) menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sejak tahun 1963 (Lamintang, 2010). Sistem pemasyarakatan beranggapan bahwa tujuan yang diharapkan adalah dapat mengembalikan kembali hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan bagi para narapidana, dengan pembinaan dan pembimbingan yang dilakukan dalam lembaga pemasyarakatan maka diharapkan narapidana tidak kembali melakukan pelanggaran hukum. Pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan narapidana untuk dikembalikan lagi ke masyarakat, yang didasarkan pada nalar pembinaan (Barda Nawawi Arief, 2002). Segala program pembinaan dan pembimbingan memiliki orientasi untuk melakukan perlindungan ataupun pembinaan dan juga perbaikan pada narapidana sehingga akhir dari program yang dibuat adalah untuk dapat mempersiapkan narapidana untuk dapat kembali ke masyarakat dan dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Dengan demikian segala program yang ada di lembaga pemasyarakatan merupakan upaya untuk membekali para narapidana baik dari sisi keterampilan maupun dari sisi kerohanian.

Kemudian hal lain yang paling menghambat untuk mewujudkan tujuan dari pemasyarakatan adalah masih sangat kuat stigma yang diberikan masyarakat terhadap setiap orang yang pernah menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan. Pemenjaraan pada dasarnya merupakan proses kriminalisasi dan stigma hingga seseorang makin mendalami kejahatannya serta identitasnya sebagai narapidana (Sulhih, 2018). Masyarakat akan memberikan stigma bahwa seseorang yang pernah dipenjara adalah seseorang yang sudah pasti jahat, sehingga sering kali akibat stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada narapidana membuat seorang narapidana berpikir dirinya akan terus jahat dan tidak akan diterima kembali di masyarakat, ini tentunya akan membuat narapidana sangat berkemungkinan besar untuk melakukan pengulangan tindak pidana sebagai dampak dari stigma yang diberikan masyarakat kepada seorang narapidana.

Peran seorang pembimbing kemasyarakatan yang bertugas untuk melakukan asesmen maupun membuat penelitian kemasyarakatan bagi setiap narapidana, seorang pembimbing kemasyarakatan harus bersikap profesional dan juga memiliki kualifikasi yang mempuni untuk dapat menjalankan tugas sebagai pembimbing kemasyarakatan yang baik, asesmen yang dilakukan oleh seorang pembimbing kemasyarakatan akan sangat berdampak terhadap setiap pola pembinaan dan pembimbingan yang akan di berikan kepada seorang narapidana, sehingga ketika seorang pembimbing kemasyarakatan salah dalam memberikan rekomendasi akan sangat berdampak pada apa yang akan diberikan kepada narapidana dan juga akan sangat berdampak pada berubah atau tidaknya seorang narapidana. Maka dari itu posisi seorang pembimbing kemasyarakatan sangat lah penting.

Terlebih ketika muncul ide mengenai revitalisasi pemasyarakatan yang dipelopori oleh Ibu Sri Puguh Budi Utami, di mana revitalisasi pemasyarakatan ini bertujuan untuk dapat mengoptimalkan proses penyelenggaraan pemasyarakatan dalam memberikan pola perlakuan yang akan diberikan kepada setiap narapidana. Dalam revitalisasi pemasyarakatan merupakan suatu upaya untuk dapat mengelola ulang mengenai model pelaksanaan sistem dari pemasyarakatan yang dijalankan di Indonesia di mana penerapan yang dilaksanakan dalam program ini adalah pemasyarakatan yang berbasis kompetensi, di mana setiap pembinaan kepribadian maupun kemandirian yang diberikan kepada seorang narapidana akan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dari setiap narapidana, dalam artian tidak akan sama pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana pencurian dengan narapidana pelecehan seksual, sehingga harapannya pembinaan dan pembimbingan yang diberikan akan berjalan lebih efektif dan tepat sasaran.

Tujuan dan fungsi dari asesmen risiko dan kebutuhan kriminogenik adalah untuk dapat melihat seberapa besar seorang narapidana dapat menimbulkan risiko yang akan berdampak pada dirinya sendiri, korban, maupun masyarakat. Selanjutnya asesmen kebutuhan kriminogenik sendiri merupakan asesmen yang dilaksanakan guna mencari faktor kriminogenik yang mengakibatkan narapidana berisiko mengulangi tindak pidananya, sehingga dapat diberikan program pembinaan yang bertujuan untuk membuat faktor kriminogenik dari seorang narapidana menjadi menurun. Karena asesmen risiko dan kebutuhan kriminogenik sendiri akan dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat litmas pembinaan awal, litmas pembinaan lanjutan, hingga litmas reintegrasi. Di mana untuk membuat litmas untuk reintegrasi narapidana harus melihat hasil asesmen risiko dan kebutuhan kriminogenik yang dilaksanakan oleh seorang pembimbing kemasyarakatan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Assessment Risiko dan Assessment Kebutuhan bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan dengan pembaruan versi 02 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-31.OT.02.02 Tahun 2021 tentang Instrumen Asesmen Risiko Residivisme Indonesia dan Instrumen Asesmen Kebutuhan Kriminogenik bagi Narapidana dan Klien Pemasyarakatan Versi 02 Tahun 2021, yang di mana di dalamnya diatur bahwa asesmen risiko residivisme dan kebutuhan kriminogenik merupakan asesmen yang akan menjadi bagian dari sebuah penelitian kemasyaraktan yang akan dibuat oleh seorang pembimbing kemasyarakatan. Fungsi dari asesmen ini adalah untuk dapat menjadi alasan yang kuat untuk dapat dijadikan sebagai dasar oleh pembimbing kemasyarakatan dalam merekomendasikan program pembinaan seperti apa ataupun pola perlakuan seperti apa yang seharusnya diberikan kepada seorang narapidana ataupun klien pemasyarakatan.

Berangkat dari alasan tersebut maka penilaian asesmen yang dilaksanakan akan menjadi dasar untuk dapat membuat litmas reintegrasi bagi seorang narapidana, selain dijadikan sebagai dasar untuk membuat sebuah litmas. Tujuan dari dilakukannya asesmen risiko residivisme Indonesia dan Kebutuhan Kriminogenik adalah sebagai berikut :

Menilai risiko pengulangan tindak pidana narapidana dan klien pemasyarakatan;

Menentukan penilaian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor kebutuhan kriminogenik dari narapidana dan klien pemasyarakatan;

Pedoman dalam penyusunan program pembinaan/pembimbingan (case plan);

Pedoman dalam menentukan penempatan, tingkat pengamanan yang sesuai bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan, dan berfungsi pada persiapan reintegrasi yang aman ke dalam masyarakat;

Pedoman dalam menentukan programa dan pelaksanaan reintegrasi bagi narapidana dan klien pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan balai pemasyarakatan.

Seluruh tujuan dari dilakukannya asesmen risiko residivisme Indonesia dan kebutuhan kriminogenik adalah upaya untuk mendukung berhasilnya revitalisasi pemasyarakatan yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pemasyarakatan dengan menempatkan narapidana sesuai dengan kebutuhannya, kemudian memberikan pembinaan sesuai dengan kebutuhan dari narapidana, sehingga penyelenggaraan pemasyarakatan dapat berjalan semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan dari digaungkan mengenai revitalisasi pemasyarakatan.

Asesmen risiko residivisme Indonesia dan kebutuhan kriminogenik merupakan asesmen yang sangat penting, di mana asesmen ini jelas akan menentukan litmas mengenai pembinaan awal dan pembinaan lanjutan yang akan diberikan kepada narapidana. Sehingga hasil asesmen sangat menentukan optimalisasi dari sistem pemasyarakatan, di mana asesmen ini sebagai acuan awal seperti apa pembinaan yang sebaiknya diberikan kepada narapidana. Untuk itu masalah yang akan menghambat berjalannya proses asesmen harus dapat diselesaikan secepat mungkin agar revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan pun dapat diwujudkan dengan baik


Oleh:

Fauzi Sahar Ramadhan, S.Tr.Pas.

Balai Pemasyarakatan Kelas II Pekalongan

(ASN Kemenkumham - Pembimbing Kemasyarakatan)

Posting Komentar

0 Komentar